Raja Ampat vs Tambang Nikel:Masa Depan Papua Dipertaruhkan

Raja Ampat vs Tambang Nikel:Masa Depan Papua Dipertaruhkan

Wisata Raja Ampat menawarkan keindahan alam yang hampir tidak tertandingi di dunia, dengan 75% spesies karang dunia, 1.400 spesies ikan karang, dan 700 jenis moluska yang hidup di perairannya. Keanekaragaman hayati yang luar biasa ini telah menjadikan Raja Ampat sebagai UNESCO Global Geopark dan salah satu destinasi penyelaman terbaik di dunia. Pada tahun 2024 saja, kawasan ini menyambut 24.934 wisatawan asing dan 8.343 wisatawan lokal yang terpesona oleh keindahannya.

Sayangnya, daya tarik wisata Raja Ampat kini terancam oleh aktivitas penambangan nikel. Lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami telah dibersihkan untuk kegiatan tambang, padahal kawasan wisata alam Raja Ampat seharusnya dilindungi dari eksploitasi. Meskipun ekowisata menyumbang sekitar 15% pendapatan lokal Raja Ampat (sekitar Rp 7.005 miliar pada 2020), pertambangan terus mengancam destinasi wisata Raja Ampat yang mencakup 4,6 juta hektar lautan dan 1.411 pulau kecil. Sementara itu, Menteri Pariwisata telah menekankan pentingnya prinsip pariwisata berkelanjutan dalam setiap aktivitas industri di wilayah ini, namun izin penambangan untuk PT GAG Nikel yang dikeluarkan pada 2017 masih aktif beroperasi.

Aktivis lingkungan protes tambang nikel di Raja Ampat

Pada 3 Juni 2025, aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua dari Raja Ampat menggelar aksi protes damai saat berlangsungnya Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta. Aksi ini terjadi ketika Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, sedang menyampaikan pidato pembukaan. Para aktivis menerbangkan spanduk bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?” dan membentangkan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” serta “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan Bumi kita sudah membayar harga mahal. Industrialisasi nikel telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Greenpeace menunjukkan bukti aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran di Raja Ampat. Ketiga pulau ini termasuk kategori pulau-pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Analisis Greenpeace menunjukkan eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.

Aksi protes juga terjadi ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tiba di Bandara Domine Eduard Osok Sorong, Papua Barat Daya. Massa membentangkan spanduk dan mendesak pemerintah segera menutup tambang nikel yang diduga merusak ekosistem di destinasi wisata Raja Ampat.

Menanggapi protes tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memberikan sanksi terhadap empat perusahaan pertambangan nikel di Raja Ampat: PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasi PT Gag Nikel hingga proses verifikasi lapangan selesai.

Greenpeace mendesak pemerintah untuk: (1) mengevaluasi dan mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat, (2) meninjau ulang kebijakan industrialisasi nikel di Indonesia, dan (3) berhenti membuat masyarakat menderita karena kebijakan industrialisasi nikel.

Penambangan nikel rusak ekosistem dan wisata alam Raja Ampat

Image Source: cursohousekeeping.es

Kerusakan ekosistem di Raja Ampat akibat tambang nikel semakin nyata. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada Mei 2025, aktivitas penambangan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Padahal, ketiga pulau tersebut merupakan pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dampak paling terlihat adalah sedimentasi di wilayah pesisir. Limpasan tanah akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah telah memicu pengendapan lumpur yang merusak terumbu karang. Selain itu, limbah tambang yang mengandung logam berat mencemari perairan, menyebabkan air laut tidak lagi jernih dan mengancam kehidupan biota laut. Menurut studi dari Auriga Nusantara, pencemaran ini tidak hanya merusak alam tetapi juga berdampak negatif terhadap ekonomi lokal.

Aktivitas penambangan tersebut mengancam status Raja Ampat sebagai rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia, 1.400 spesies ikan, dan habitat bagi satwa endemik seperti cenderawasih botak (Cicinnurus respublica). Kerusakan ekosistem ini berpotensi menurunkan minat wisatawan, padahal ekowisata menyumbang sekitar 15% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat atau sebesar Rp 7,005 miliar pada tahun 2020.

Akibat pelanggaran tersebut, KLH telah menindak tegas empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. PT Anugerah Surya Pratama yang beroperasi di Pulau Manuran seluas 746 hektare dihentikan aktivitasnya karena tidak memiliki sistem manajemen lingkungan. Sementara itu, PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag seluas 6.030,53 hektare juga sedang dievaluasi izin lingkungannya.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan, “Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi”. Bahkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 telah memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil karena dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.

Ekowisata Raja Ampat terancam kehilangan daya tarik

Keberlangsungan ekowisata di Raja Ampat kini berada di persimpangan jalan. Julukan “The Last Paradise on Earth” yang disandang Raja Ampat terancam hilang seiring aktivitas penambangan nikel yang terus menggerus keindahannya. Kawasan yang menjadi situs warisan dunia global geopark UNESCO ini tidak hanya menawarkan pesona visual, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.

Ekonomi berbasis ekowisata telah terbukti menguntungkan masyarakat lokal. Pada tahun 2020, sektor pariwisata menyumbang sekitar 15% dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat atau sebesar Rp 7,005 miliar. Pendapatan ini berasal dari berbagai sumber seperti retribusi penginapan, pajak kapal wisata, dan retribusi kartu wisata yang dikenakan kepada wisatawan domestik maupun mancanegara.

Selain itu, Raja Ampat mencatat peningkatan jumlah kunjungan yang signifikan. Dari tahun 2013 hingga 2019, tercatat total 112.573 turis mancanegara dan 94.766 turis domestik yang berkunjung ke Raja Ampat. Namun, dengan adanya tambang nikel, destinasi wisata raja ampat terancam kehilangan daya tariknya. Beberapa pulau kecil sudah dikeruk dan hutan telah dibabat, yang akan berdampak pada sumber air dan kehidupan bawah laut.

Masyarakat lokal yang awalnya nelayan telah bertransformasi menjadi pengelola ekowisata berkelanjutan. Melalui homestay yang dikelola oleh penduduk setempat, wisatawan bisa mendapatkan pengalaman yang lebih autentik sambil memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat. Kampung Arborek dan Yenbuba, misalnya, telah menjadi contoh sukses pengembangan homestay berbasis komunitas.

Sesungguhnya, alternatif ekonomi yang lebih berkelanjutan seperti pengembangan ekowisata dan perikanan berbasis konservasi harus terus didorong. Dengan pengelolaan yang tepat, wisata alam raja ampat bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan, tidak seperti penambangan nikel yang dampaknya bersifat merusak dan permanen.

Oleh karena itu, menjaga daya tarik wisata raja ampat bukan hanya tentang melindungi keindahan alam, tetapi juga mempertahankan sumber penghidupan dan masa depan masyarakat lokal. Seperti yang diungkapkan dalam kampanye konservasi, “Raja Ampat bukan hanya aset nasional, tapi warisan dunia yang wajib kita jaga”.

Kesimpulan

Pertaruhan Masa Depan Raja Ampat dan Pilihan yang Harus Diambil

Pertarungan antara wisata dan tambang nikel di Raja Ampat sesungguhnya mencerminkan dilema yang lebih besar tentang visi pembangunan di Indonesia. Faktanya, keindahan alam Raja Ampat dengan 75% spesies karang dunia tidak tergantikan dan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Namun demikian, penambangan nikel telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan merusak ekosistem yang seharusnya dilindungi.

Kita harus memilih: keuntungan jangka pendek dari ekstraksi sumber daya atau keberlanjutan jangka panjang melalui ekowisata? Jawaban ini sebenarnya sudah jelas terlihat dari data ekonomi. Ekowisata menyumbang sekitar 15% pendapatan daerah Raja Ampat, menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, serta mendorong masyarakat lokal menjadi pengelola homestay dan pemandu wisata. Berbeda dengan tambang nikel yang meninggalkan kerusakan permanen setelah sumber daya habis.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seharusnya menjadi perisai pelindung kawasan ini. Meskipun begitu, izin pertambangan tetap dikeluarkan dan operasi tambang terus berlangsung. Aksi protes dari Greenpeace dan masyarakat adat Papua Barat akhirnya membuahkan hasil dengan adanya sanksi terhadap empat perusahaan pertambangan nikel yang melanggar ketentuan lingkungan.

Terlepas dari semua ini, masa depan Raja Ampat bergantung pada keputusan kita sekarang. Tentu saja, kedaulatan ekonomi dan industrialisasi penting, tetapi penghancuran keanekaragaman hayati yang tidak tergantikan demi keuntungan jangka pendek bukanlah pilihan bijak. Sebagai alternatif, pengembangan ekowisata berkelanjutan terbukti memberikan manfaat ekonomi sambil melestarikan lingkungan.

Tanpa keraguan, pilihan bijak adalah menghentikan aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat dan berinvestasi dalam model pembangunan berkelanjutan yang menjaga “Surga Terakhir di Bumi” ini untuk generasi mendatang. Keputusan saat ini bukan hanya tentang konflik kepentingan ekonomi, melainkan juga pertaruhan masa depan warisan alam yang menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.

Baca juga artikel Timnas Indonesia Pecahkan Rekor di Kualifikasi Piala Dunia.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *